Surakarta, Infojateng.id – Di era post-truth, kepercayaan publik terhadap media dan pemerintah menjadi masalah besar. Masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap kebijakan pemerintah karena emosi dan persepsi pribadi sering kali lebih kuat dibandingkan fakta.
Untuk meningkatkan reputasi, humas pemerintah harus mampu menceritakan program dan kebijakan pemerintah dengan cepat, informatif, dan tepat sasaran.
Hal tersebut diungkapkan Pranata Humas Ahli Muda Direktorat Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Harfizan Arnas, pada acara Dialog Opini Publik, yang digelar Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Tengah, di Hotel Sunan, Surakarta, Selasa (16/20/2024).
Menurutnya, humas pemerintah harus mampu menyampaikan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
“Namun, sampaikan yang salah tersebut dengan cara yang benar. Untuk dapat melakukan hal tersebut, penting untuk melakukan media monitoring,” ujar Arnas.
Arnas menyampaikan, media monitoring perlu dilakukan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis informasi, yang relevan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
“Media monitoring bertujuan untuk menganalisis informasi terkini, pengidentifikasi isu potensial dan krisis, mengukur efektivitas komunikasi, dan mendukung strategi komunikasi oleh pemerintah. Selain itu, dengan memahami sentimen publik di media, pemerintah dapat segera menangani informasi negatif dan melindungi reputasinya,” ungkapnya.
Menurut Arnas, seiring perkembangan tren media yang mengalami perubahan dari masa ke masa, persepsi publik tidak hanya dipengaruhi oleh media massa. Tapi justru banyak dipengaruhi oleh media sosial.
“Hal ini tentu membuat monitoring dan analisis media menjadi lebih kompleks. Jadi, penting bagi humas pemerintah untuk terus mengikuti perkembangannya,” pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan Akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS), Andre Rahmanto.
Menurutnya, monitoring media berfungsi sebagai manajemen isu, yang bertujuan mengelola hubungan publik dengan pemerintah.
Dijelaskan, berdasarkan dampak yang ditimbulkan, isu dapat diklasifikasikan menjadi isu defensif dan isu ofensif.
Isu defensif merupakan isu yang cenderung memunculkan ancaman terhadap organisasi, karenanya organisasi harus mempertahankan diri agar tidak mengalami kerugian reputasi.
“Sementara isu ofensif yaitu isu yang dapat digunakan untuk meningkatkan reputasi organisasi, dan inilah yang perlu kita manfaatkan,” terang Andre, di hadapan para peserta dari Humas Diskominfo dan Prokompim eks-Bakorwil II Jawa Tengah.
Andre menjelaskan, proses kehumasan terdiri dari ROPE atau Reseach (penelitian), Objective (tujuan), Programing (perencanaan dan pelaksanaan), serta Evaluation (evaluasi).
Menurutnya, proses itu penting, agar dapat menyusun sebuah strategi komunikasi yang tepat sasaran dan mencapai tujuan yang diinginkan.
“Proses evaluasi juga sangat penting, agar terus ada perbaikan untuk ke depannya. Oleh karena itu, monitoring dan analisis pemberitaan di media harus dilakukan, sebagai pengumpulan data yang digunakan dalam pengambilan keputusan,” tutur Andre.
Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jawa Tengah, Moch Faizin, mendorong agar jajaran di kabupaten/ kota melalukan monitoring dan analisis, sebagai upaya menjadi pemerintah yang responsif.
Menurutnya, monitoring dan analisis berita dapat menjadi early warning system, ketika terjadi masalah yang membutuhkan respon segera.
Kegiatan ini, lanjut dia, juga dapat membantu pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan, apa yang dibutuhkan publik, dan apa yang perlu diperbaiki.
“Sehingga, diharapkan antara pemerintah dengan masyarakat dapat tercipta saling kesepahaman,” pungkas Faizin. (eko/redaksi)