*H.M. Zaim Jaelani
Ketua ASWAJA CENTER PATI
Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) akan diselenggarakan pada Rabu, 27 November 2024, adalah perhelatan untuk mencari sosok pemimpin daerah, tingkat kabupaten/kota dan juga provinsi, ini peristiwa pertama kali serentak di seluruh Indonesia, tidak terkecuali juga di dalamnya Kabupaten Pati, Jawa tengah.
Penyelenggaraan pilkada secara langsung oleh rakyat adalah peristiwa yang ke empat di Pati, setelah pertama kalinya dilakukan pada 24 Juli 2006, sebagai imbas ditetapkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum pilkada 2006, pemilihan bupati dan wakil bupati dilakukan oleh para anggota dewan di DPRD Kabupaten. Artinya, sudah tiga kali pelaksanaan demokrasi pemilihan kepemimpinan kabupaten ini dengan sistem one man one vote, satu warga dengan satu suara.
Banyak kalangan yang masih mempertanyakan tentang kwalitas dari pelaksanaan pilkada langsung yang sudah terjadi selama ini, yang berimbas pada kwalitas kepemimpinan yang dihasilkan. Tulisan ini mencoba merangkai singkat kwalitas pilkada selama ini, sekaligus potret situasi sosial politik dalam pilkada kali ini, dengan perspektif kwalitatif.
Pilkada Pati dari waktu ke waktu
Pilkada langsung bukan fenomena yang baru, karena pilkada nanti sudah terhitung yang ke empat kalinya. Pilkada yang telah berlangsung sebelumnya, dimulai dari pilkada pertama pada 24 juli 2006, yang diikuti oleh 4 pasangan yaitu pasangan Sudjoko & Sunandar pasangan Kotot Kusmanto & Ah. Arsyad, pasangan Tasiman & Kartina Sukawati dan Pasangan Slamet Warsito & Aniq Syahuri yang dimenangkan oleh pasangan Tasiman & Kartina Sukawati.
Pilkada pertama ini, suasana cukup tenang, tidak ada kegaduhan dan seolah terselenggara tanpa masalah yang signifikan, bahkan saking tenangnya menurut data KPU angka partisipasi pemilih tercatat yang menggunakan hak pilihnya sangat rendah sekali, nyaris hampir separoh dari data pemilih yang mempunyai hak pilih, tepatnya sebanyak 493,083 atau 51,78 % dari total masyarakat yang mempunyai hak pilih sebesar 952.200. Partisipasi yang sangat rendah itu dipicu oleh beberapa faktor, antara lain karena pilkada langsung saat itu adalah peristiwa yang sangat baru, sebagian masyarakat belum mengerti dan sadar betul fungsi dan manfaatnya sebagai media penyaluran hak dan kewajiban warga dalam penentuan arah pemerintahan kabupaten.
Akan tetapi dalam pilkada 2006 ini praktik money politic terhitung relatif sangat rendah, baik yang diarahkan langsung kepada pemilih sebagai pemegang hak suara maupun jual beli rekomendasi partai sebagai sarat pengusungan bakal pasangan calon. Kebetulan saat itu penulis sebagai Ketua kordinator pemantau pemilu dari JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang diterjunkan ke pilkada pati ini, sehingga cukup detail merasakan suasana pilkada saat itu.