REMBANG –Bullying atau perundungan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya perundungan di dunia pendidikan, salah satunya dengan kegiatan Roots Day Pesantren yang dilakukan di Ponpes Alhamdulillah dan Al Anwar 4 Rembang, Kamis (24/12).
Roots sendiri merupakan program pencegahan berbasis siswa dengan mengandalkan siswa yang berpengaruh, mereka pun disebut sebagai Agen Perubahan. Agen Perubahan merupakan siswa yang sangat terhubung dan memiliki pengaruh besar di pesantren untuk mengubah sikap dan perilaku teman-teman sebayanya.
Agen Perubahan dipilih oleh santri lainnya karena dianggap mereka yang paling banyak berinteraksi dengan para santri. Sekitar 40 Agen Perubahan per pesantren difasilitasi melalui sesi tetap yang dilakukan setelah sekolah untuk mengidentifikasi masalah di sekolah mereka.
Bahkan, mereka juga merancang, mengimplementasikan dan mengevaluasi solusi oleh mereka sendiri. Total ada 15 sesi dalam program Roots. Agen Perubahan juga didampingi oleh fasilitator muda selama 15 pertemuan tersebut. Peran fasilitator menjadi salah satu peran paling penting dalam intervensi ini.
Pengurus Ponpes Al Anwar 4 Rembang Nawal Yasin menuturkan, Agen Perubahan yang melibatkan anak-anak menjadi strategis untuk mencegah perundungan. Roots Day ini menjadi puncak kegiatan yang dilakukan siswa untuk mencegah adanya perundungan. “Ujicoba Roots Day di pesantren ini sangat baik, sehingga tak ada perilaku perundungan untuk mengoptimalkan pembelajar dan keamanan siswa,” katanya.
Ia melanjutkan, menurut data siswa di Indonesia banyak yang melaporkan adanya perundungan. Mereka merupakan siswa di rentang usia 13 sampai 15 tahun mengalami bullying di sekolah. Keterlibatan generasi muda menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. “Tentu dengan mengambil sikap melawan bullying dan menentang norma yang membenarkan kekerasan sebagai budaya,” tegasnya.
Saat ini, katanya, semua pihak harus terus memberikan kesempatan untuk generasi muda tumbuh dan berkembang dengan baik dan aman. “Terima kasih pada semua pihak, UNICEF, Dinas Pendidikan, Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan serta Yayasan Setara yang menggelar kegiatan hari ini di dua ponpes,” sambungnya.
Kegiatan hari ini, tambahnya, sangat menarik sekaligus memberikan laporan kalau di Ponpes Al Anwar IV serta di Ponpes Alhamdulilah sudah menerapkan itu. Hasilnya, di Ponpes Al Anwar 4 sudah ada 50% siswanya memberikan laporan ada perundungan. Sebelumnya, kajian ujicoba juga sudah dilakukan UNICEF bersama Yayasan Setara.
“Dalam sebuah kajian pra ujicoba hasilnya detail, ada 14% yang mengalami kekerasan fisik, 41% mengalami kekerasan non fisik dan 20% sisanya mengalami kekerasan keduanya,” jelasnya.
Makanya, kata Nawal, dalam kajian ujicoba itu juga menunjukan fakta rata-rata santri melakukan perundungan lima kali dalam sebulan. “Hasil ini terlihat nyata dan harus dirembuk bersama untuk diatasi dengan baik,” jelasnya.
Nawal juga menambahkan, pengembangan iklim dengan melibatkan siswa sebagai Agen Perubahan sangat efektif dilakukan. Sehingga bisa mengidentifikasi akar perubahan dari perundungan sekaligus mencari solusinya. “Sebagai Agen Perubahan, anak-anak ini bisa mendesain bagaimana kampanye anti perundungan dan anti kekerasan bisa dilakukan di sekolah dengan tujuan mengubah sikap teman-temannya,” jelasnya.
Di Ponpes Al Anwar 4 sendiri ada 46 Agen Perubahan yang terdiri dari 25 putra dan 21 putri. Mereka dipilih melalui jajak pendapat tertutup dari teman-temannya. Mereka dipilih karena memberikan pengaruh besar bagi siswa lainnya. “Para siswa juga dibimbing para fasilitator hebat yang membantu mereka,” ucapnya.
Fasilitator sendiri berasal dari pendamping di pesantren dan juga orang muda dari Yayasan Setara dan LPA Klaten. Harapannya, model seperti ini dapat direplikasi ke pesantren-pesantren lain yang ada di Jawa Tengah.
Pengasuh Pondok Pesantren Alhamdulillah Rembang KH Ali Mahmudi menuturkan, kader-kader terbaik dari pesantren harus bisa dipastikan aman dalam belajar. Apa yang dilakukan UNICEF bersama dengan lembaga lainnya di sini sejalan dengan langkah pesantren dalam mengembangkan para santri.
“Sehingga kerjasama ini bisa terus berlanjut untuk bisa mencegah aksi perundungan dan bisa membawa para santri untuk menjadi lebih baik lagi,” katanya.
Chief Child Protection Cluster UNICEF Indonesia, Milen Kidane menuturkan, pihaknya berterima kasih pada semua yang berusaha keras membuat pesantren menjadi tempat yang aman bagi siswa dan guru di tengah pandemi COVID-19. Melihat keceriaan anak-anak dan semangat mereka untuk bisa terus belajar.
Ia juga memberikan apresiasi tinggi pada para Agen Perubahan. Hari ini, Agen Perubahan yang merupakan anak-anak sendiri mampu menunjukkan suara mereka, termasuk suara anti perundungan.
Pada kegiatan Roots Day Pesantren ini, katanya, pihaknya bersama anak-anak ingin merayakan dan menyuarakan kebaikan di pesantren. Berbagai cara dilakukan oleh anak-anak, baik itu melalui pidato, ceramah, puisi, foto, video, poster, majalah dinding, lagu, sampai U-Report.
“Sekolah atau pesantren harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Termasuk dari tindakan perundungan,” katanya.
Untuk melawan perundungan bisa dilakukan oleh semua pihak. Dengan adanya bantuan teman atau Agen Perubahan serta setiap anak di pesantren, guru, orang tua, siswa dapat mengatasi perasaan negatif tersebut dan mengambil kembali kekuatannya.
“Pada beberapa kasus ketika anak-anak setiap hari jauh dari orang tua dan pengasuh yang dapat melindungi mereka, itu bisa membahayakan kesehatan mental anak-anak,” jelasnya.
Roots sendiri, katanya, bisa membentuk lingkungan yang positif di sekolah maupun pesantren. Semua pihak bisa saling mendukung, baik secara tatap muka maupun online dengan menyebarkan kebaikan tanpa memandang kelas, lingkaran teman, ras, jenis kelamin, dan agama mereka.
“Ruang pertemanan di pesantren dan media sosial tidak harus menjadi tempat yang membuat anak ketakutan, intimidasi, dan adanya pelecehan. Pertemanan itu bisa menyatukan orang dan menjadi tempat cinta dan dukungan bagi semua orang,” ungkapnya.
Makanya, lanjutnya, ketika di pesantren ada orang yang menjadi korban perundungan dan merasa takut, yakinlah semuanya tidak sendiri. “Ada orang di pesantren yang peduli padamu. Ada orang yang akan mendengarkan jika seseorang mencari bantuan, tanpa menghakimi,” sambungnya.
Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa Arie Rukmantara menuturkan, inti dari pencegahan perundungan tidak boleh ada diskriminasi dan membuat pertemanan menjadi terancam. “Karena pertemanan adalah investasi dan tabungan kita di masa depan,” jelasnya.
Kalau dulu kita pernah melakukan perundungan pada teman, katanya, dengan keterbatasannya atau apapun, maka 10 atau 15 tahun kemudian maka lihat kanan dan kiri, maka bisa jadi mereka bakal menjadi menteri atau pemimpin di negeri ini. “Bahkan bisa jadi presiden, dan itu adalah teman-teman kita dulu. Itu hebatnya pertemanan,” ungkapnya. (IJB)