Pati, Infojateng.id, –Bupati Pati, H. Sudewo, ST., MT., angkat bicara terkait isu panas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang menuai kontroversi di masyarakat. Dalam sebuah pernyataan tegas, Sudewo menepis anggapan bahwa ia menindas rakyat melalui kebijakan tersebut.
“Kalau saya saklek menjalankan Perda, kenaikannya bisa ribuan persen. Tapi saya tidak ingin seperti itu. Justru saya ingin penyesuaian ini tetap rasional dan berpihak pada rakyat,” ujar Sudewo dalam wawancara dengan Info Jajateng.
Kebijakan penyesuaian PBB, kata dia, merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang disahkan oleh DPRD dan Pemerintah Kabupaten Pati periode sebelumnya. Ia menegaskan bahwa dirinya hanya menjalankan aturan yang sudah sah dan mengikat secara hukum.
Sudewo menjelaskan, sejak tahun 2011 atau selama 14 tahun, tarif PBB di Kabupaten Pati belum pernah mengalami penyesuaian. Sementara kebutuhan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik terus meningkat.
“PBB ini bukan untuk saya pribadi. Tapi untuk memperbaiki jalan, menangani banjir, dan membenahi RSUD Soewondo yang kondisinya sudah memprihatinkan,” tegasnya.
Menanggapi tudingan sejumlah pihak yang menyebut dirinya kejam dan mencekik rakyat, Sudewo memberikan analogi yang menohok. Menurutnya, yang benar-benar menindas rakyat adalah pemimpin yang membiarkan jalan rusak, banjir tidak tertangani, dan rumah sakit terbengkalai.
“Saya justru sedang membela rakyat. Bayangkan, plafon rumah sakit jebol, alat rusak, pelayanan buruk, itu yang menyengsarakan rakyat. Maka saya perbaiki dengan dana dari rakyat, untuk rakyat,” ucapnya.
Terkait angka yang disebut-sebut naik hingga 250 persen, Sudewo meluruskan bahwa target awal tahun 2025 sebesar Rp73 miliar sudah dikoreksi menjadi Rp65 miliar. Sementara pada tahun 2024, target PBB hanya Rp29 miliar.
“Faktanya tidak sampai 200 persen, dan itu pun masih bisa didiskusikan di lapangan,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sudewo juga mengungkap besarnya anggaran yang dikucurkan untuk pegawai honorer dan kontrak, yang mencapai Rp75 miliar per tahun. Ia menyoroti adanya praktik sogokan agar bisa diterima sebagai pegawai kontrak.
“Kalau ada oknum yang menerima sogokan, lalu rakyat yang tiap bulan menggaji pegawai itu, dosanya jalan terus. Itu yang kejam!” tegasnya.
Sudewo menegaskan bahwa pembangunan tidak bisa ditopang hanya oleh pemerintah, tapi juga butuh partisipasi masyarakat. Ia menyebut pendekatannya sebagai pembangunan berbasis gotong royong, dengan payung hukum yang jelas.
“Yang menyerang saya, saya tahu siapa mereka. Mereka dari kelompok yang sejak awal memang tidak ingin saya memimpin Pati. Tapi saya tidak peduli. Saya fokus membangun Pati,” tutupnya. (one/redaksi)