SURAT Edaran Bupati Pati Sudewo yang melarang penggunaan sound horeg di wilayah pedesaan patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya. Langkah ini tidak hanya menyelamatkan kenyamanan lingkungan, tetapi lebih dari itu menjaga moral generasi penerus bangsa dari pengaruh budaya asing yang tak sesuai dengan jati diri kita.
Fenomena sound horeg dewasa ini kian merajalela, khususnya dalam perayaan hajatan di desa-desa. Musik menghentak dengan volume luar biasa, lengkap dengan tarian-tarian layaknya dugem yang biasa ditemui di kota-kota besar. Sayangnya, yang dulunya hanya menjadi fenomena malam di pusat-pusat hiburan metropolitan, kini justru menyusup hingga ke pelosok kampung. Dugem telah turun gunung masuk ke ruang-ruang terbuka desa, merusak ketenangan desa.
Mari kita pahami budaya dugem merupakan produk budaya Barat yang kerap dikaitkan dengan gaya hidup bebas dan hedonistik. Di tempat asalnya, klub malam dijalankan dengan sejumlah aturan ketat, termasuk pengawasan terhadap pesta minuman keras dan keamanan pengunjung. Namun saat budaya ini diimpor tanpa filter ke desa-desa melalui sound horeg*, yang terjadi justru kekacauan: kebisingan melampaui batas, potensi penyalahgunaan alkohol, hingga gesekan sosial antarwarga.
Lebih ironis lagi, sound horeg ini kerap kali diangkut menggunakan kendaraan yang sudah melebihi kapasitas muatan. Artinya, tidak hanya melanggar etika sosial, tetapi juga melanggar aturan lalu lintas. Seharusnya pihak kepolisian tidak tinggal diam. Bila kendaraan biasa bisa ditilang karena melebihi tonase, mengapa hal serupa tidak berlaku pada truk pembawa sound horeg?
Selain itu, perizinan terhadap aktivitas sound horeg semestinya ditinjau ulang, bahkan dicabut. Karena alih-alih menjadi hiburan, ia telah menjelma menjadi sumber keributan dan persaingan tak sehat antar warga desa yang ingin unjuk gigi lewat kebisingan. Jalanan menjadi macet, warga terganggu, anak-anak kehilangan waktu tidur, dan yang lebih berbahayaterbiasa dengan hiburan yang menjurus pada kebebasan tanpa batas.
Moral bukan hanya dibentuk dari pendidikan formal, tapi juga dari lingkungan. Bila lingkungan sudah terkontaminasi oleh hiburan vulgar, bagaimana generasi muda bisa tumbuh dengan nilai dan karakter yang kuat?
Saya, mewakili suara masyarakat dan media lokal, mendukung penuh kebijakan Bupati. Mari kita jaga desa sebagai tempat tumbuh nilai-nilai luhur bangsa, bukan ladang baru bagi budaya yang menggerus akhlak. Stop sound horeg, sebelum semuanya menjadi terlambat. (*)