Oleh: A. Dawam Pratiknyo
Mahasiswa S2 Ilmu Politik, Peneliti Charta Politika Indonesia
PISAU itu masih berkilat dalam ingatan kolektif umat manusia. Di padang gurun Mina, tangan Ibrahim gemetar mencengkeram bahu Ismail. Mata sang anak memancarkan kepercayaan penuh, bukan ketakutan buta. Lalu terdengar seruan langit: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. As-Saffat: 106). Pada detik genting itu, bukan kematian yang lahir, melainkan sebuah revolusi etika kekuasaan pertama dalam sejarah peradaban. Darah domba yang mengalir menggantikan Ismail bukan sekadar pengganti korban. Ia adalah naskah konstitusi ilahi yang menelanjangi kesewenangan: kekuasaan sejati bukanlah hak menumbalkan, melainkan kewajiban suci untuk melindungi.
Iduladha kerap terjebak dalam ritual kesalehan personal. Namun, jika kita menyelami narasi Ibrahim dan Ismail dengan pisau analisis yang tepat, tersingkaplah anatomi kekuasaan yang paling fundamental. Inti kisah ini adalah kritik pedas nan abadi terhadap politik otoritarian. Ketika Ibrahim sang nabi sebagai figur otoritas tertinggi bermusyawarah dengan Ismail (“Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia [Ismail] menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” – QS. As-Saffat: 102), ia menghancurkan mitos kepatuhan buta. Inilah prototipe demokrasi transendental, di mana otoritas tertinggi sekalipun tidak menghapus kedaulatan subjek.
Awalnya, relasi itu tampak hierarkis dan koersif. Mimpi Ibrahim sebagai perintah Ilahi berpotensi menjadi wacana kuasa yang memaksakan kepatuhan mutlak. Sebagai pemegang otoritas nubuwah dan keayahan, Ibrahim bisa memerintahkan tanpa penjelasan. Namun, titik balik revolusioner terjadi karena adanya dialog. Dengan bertanya, Ibrahim secara sadar membongkar struktur kuasa tradisional. Ia mengakui subjektivitas dan kedaulatan Ismail. Keputusan akhir bukan lagi monopoli otoritas, tetapi hasil negosiasi yang melibatkan persetujuan aktif Ismail. Kuasa tidak lagi beroperasi sebagai paksaan, tetapi sebagai pengakuan terhadap subjek.
Penggantian Ismail dengan domba menjadi penegasan bahwa kuasa Ilahi yang sejati menolak pengorbanan manusia demi ambisi atau kepatuhan buta. Kuasa sejati itu melindungi kehidupan, mengubah logika “menumbalkan” menjadi “menyelamatkan.” Pisau yang semula simbol potensi kekerasan, berubah menjadi simbol kepatuhan pada etika perlindungan.
Perintah dalam mimpi Ibrahim berpotensi menjadi kekerasan dalam kerangka tirani apabila menggunakan tubuh Ismail sebagai alat pemuas tuntutan (yang disangka) transenden. Namun, dialog mengubah potensi kekerasan itu menjadi kekuasaan sejati. Ismail tidak dipaksa, namun ia berpartisipasi secara sadar dan sukarela, memberikan persetujuannya. Keputusan penyembelihan (yang dibatalkan) menjadi hasil aksi bersama ayah dan anak, didasarkan pada kesepakatan dan ketaatan pada kehendak Ilahi yang lebih tinggi.
Otoritas Ibrahim sebagai Nabi dan ayah tidak merosot menjadi tirani. Ia tidak menggunakan statusnya untuk memaksakan kepatuhan buta. Sebaliknya, ia menggunakannya secara bertanggung jawab dengan melibatkan subjeknya dalam musyawarah. Otoritasnya justru diperkuat dan dilegitimasi oleh pengakuan dan persetujuan Ismail. Penggantian domba adalah penegasan terakhir bahwa Tuhan sendiri menolak kekerasan sebagai instrumen kekuasaan atau otoritas. Otoritas Ilahi yang sejati dimanifestasikan melalui kasih sayang dan penyelamatan, bukan pembunuhan sewenang-wenang.
Narasi Ibrahim dengan Ismail menjadi cermin yang menyilaukan bagi setiap penguasa yang lalim. Mitos tentang kepatuhan buta dihancurkan seperti halnya penguasa otoriter dari Fir’aun hingga diktator modern dalam membangun kultus kepatuhan absolut. Mereka menutup ruang dialog, menyatakan diri sebagai sumber kebenaran tunggal. Kisah ini merontokkan mitos itu: Ibrahim sebagai pemegang otoritas tertinggi yang mendapat perintah langsung dari Tuhan pun bermusyawarah. Tiada otoritas yang cukup suci untuk meniadakan dialog.
Dalam rezim otoriter, rakyat menjadi “Ismail-Ismail” yang ditumbalkan demi proyek mercusuar, stabilitas semu, atau kelanggengan kekuasaan. Kekuasaan yang sah tidak membunuh, tetapi menyelamatkan; tidak menindas, tetapi melindungi. Rakyat adalah subjek yang dilindungi, bukan objek yang dikorbankan.
Kisah Ismail menegaskan bahwa fondasi kekuasaan sejati adalah kesepakatan, kepercayaan, dan perlindungan. Kekerasan adalah pengakuan akan kegagalan kekuasaan sejati. Banyak tiran mengklaim bertindak atas nama Tuhan, ideologi, atau nasib untuk melegitimasi kesewenangan. Ujian Ibrahim justru mengungkap bahwa kehendak Ilahi yang sejati selalu berpihak pada kehidupan, keadilan, dan penghormatan martabat manusia. Tuhan dalam kisah ini adalah Sang Pembebas Ismail, bukan Sang Penyembelih yang haus darah.
Mereduksi Iduladha menjadi sekadar ritual penyembelihan hewan adalah pengkhianatan terhadap pesan revolusionernya. Setiap kali pisau kurban dihunus, ia harus menjadi pengingat kolektif bahwa pisau itu bukan simbol hak penguasa untuk menumpahkan darah rakyat, melainkan alat untuk menyembelih keangkuhan dan kesewenangan dalam diri setiap pemegang kuasa. Revolusi etika dari Padang Mina menuntut transformasi radikal dalam memandang kepemimpinan.