CILACAP – Transformasi digital telah mengubah begitu banyak kebiasaan dan gaya hidup manusia. Jika 20 tahun lalu kita berkomunikasi masih menggunakan telepon biasa, pertemuan juga berlangsung secara tatap muka atau face to face, kini semua sudah berubah drastis.
Di era disrupsi, pertemuan telah bergeser ke virtual. Mendengarkan musik tidak lagi lewat radio yang dibatasi waktu. Menonton film, yang dulu cuma lewat layar televisi atau bioskop, kini sudah bergeser ke berbagai aplikasi.
”Intinya, budaya telah berubah. Yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungan,” kata Ismita Saputri dari Kaizen Room, saat berbicara dalam webinar pelatihan literasi digital gelaran Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (2/6). Selain Ismita, ada tiga pembicara lain yang tampil.
Menurut pemerhati pendidikan ini, selama 20 tahun terakhir kehidupan umat manusia semakin dimudahkan dengan keberadaan internet. Semakin mudah mendapat informasi secara real time. Info tentang bencana alam seperti gempa atau banjir tak perlu lagi menunggu telepon dari keluarga atau membaca koran esok hari. ”Semua info bisa diakses real time. Media juga lebih bervariasi dan terhubung satu sama lain,” tuturnya.
Hambatan dalam Transformasi Digital
Transformasi digital memang berlangsung sangat cepat. Masalahnya, kata Ismita, masih banyak hambatan pada masyarakat yang antara lain dipicu oleh kurangnya kesempatan mempelajari dunia digital. Bagi generasi milenial mungkin tidak masalah. Tetapi generasi yang lebih tua seringkali gagap dan tidak punya waktu untuk belajar.
Ismita berpendapat, mempelajari budaya digital (digital culture) sangat diperlukan, terlebih karena kita tinggal di Indonesia. Negara yang sangat majemuk dan multikultural. Kemajemukan Indonesia antara lain terekam dari dimilikinya 16.056 pulau, 34 provinsi, 1.331 suku bangsa, dan enam agama.
Dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 274,9 juta jiwa, 202 juta jiwa di antaranya adalah pemakai internet. Jumlah itu meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa selama pandemi Covid-19. ”Penguasaan terhadap budaya digital diperlukan agar kita mampu mengurai dan membangun wawasan kebangsaan,” imbuhnya.
Masih menurut Ismita, transformasi digital – yang memudahkan kita berinteraksi dengan orang lain – tidak boleh meninggalkan ciri kebangsaan sebagai orang Indonesia. Ia menambahkan, budaya tidak bisa terpisah dengan komunikasi. Apalagi, di ruang digital begitu banyak ujaran kebencian, perundungan siber, dan berbagai jenis kejahatan lain.
”Itu semua terjadi karena tidak diimbangi dengan cara berkomunikasi yang baik. Dunia digital dianggap bebas, tidak ada aturan. Padahal, justru dengan adanya dunia digital kita harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Lewat online kita justru perlu meningkatkan rasa kemanusiaan kita, bukan malah menipiskannya,” jelasnya.
*Kompetensi dalam Budaya Komunikasi Digital*
Ismita Saputri menambahkan, penting bagi seluruh generasi mematuhi mindfullness communication di dunia digital. Inilah kompetensi dasar dalam budaya komunikasi digital yang meliputi cakap paham, cakap produksi, cakap distribusi, cakap partisipasi, dan cakap kolaborasi. ”Yang pasti, budaya digital di Indonesia tidak bisa lepas dari nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,” ujarnya.
Terkait sila kesatu, misalnya, cinta kasih merupakan nilai utama. Bagaimana menghargai dan menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital. Sila kedua, kesetaraan memperlakukan orang lain dengan adil dan manusiawi di ruang digital. Sila ketiga, harmoni, mengutamakan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi dan golongan di ruang digital.
Sila keempat, demokratis, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bebas berekspresi dan berpendapat di ruang digital. Sedangkan sila kelima, gotong royong, bersama-sama membangun ruang digital yang aman dan etis bagi setiap pengguna.
Kata Ismita, banyak dampak yang muncul dari rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Di antaranya, tidak mampu memahami batasan kekebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, atau provokasi yang mengarah kepada perpecahan di ruang digital.
”Dampak lain, kita terjebak pada konten negatif yang tidak aman, tidak nyaman dan mengarah ke perpecahan,” lanjutnya. Selain itu, kita juga tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. Ditambah lagi, tidak mampu membedakan misinfromasi, disinformasi dan malinformasi.
Untuk menghindar dari dampak di atas, Ismita mengajak masyarakat untuk membentengi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Antara lain dengan berpikir kritis yang mencakup pentingnya melakukan identifikasi, observasi dan evaluasi. Kemudian, meminimalisir unfollow, unfriend dan block untuk menghindari echo chamber dan filter bubble.
Selanjutnya, bergotong royong dan berkolaborasi mengkampanyekan literasi digital. ”Salah satunya, tentu saja, dengan mengikuti pelatihan-pelatihan literasi digital seperti yang digelar Kementerian Kominfo ini,” pungkasnya. (IJA)