SLEMAN-Kemajuan teknologi informasi saat ini, di mana hampir 64 persen penduduk Indonesia (di kota maupun di desa) mempunyai akses dengan ponsel pintar, membuat kebutuhan akan Desa Digital menjadi tuntutan yang tak terelakkan.
”Sejak lahirnya Undang Undang Desa, yang salah satunya memberikan dana desa, menuntut pengawasan yang transparan terkait penggunaannya. Sebab, anggaran setiap desa bisa tembus Rp 1,6 miliar per tahun,” kata Sabinus Bora Hangawuwali, dosen dan peneliti UGM saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertopik ”Desa Digital untuk Mengoptimalkan Pemberdayaan Masyarakat Desa” yang digelar Kementerian Kominfo RI dan Debindo di wilayah Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, 8 Juni lalu.
Sabinus Bora menambahkan, keterbukaan penggunaan dana desa menjadi tanggung jawab seluruh warga untuk ikut mengawasinya. Salah satu solusi efektifnya adalah dengan pembentukan Desa Digital. ”Dengan adanya akses ke Desa Digital, maka seluruh warga bisa ikut memantau agar penggunaan dana tepat sasaran dan tidak diselewengkan,” ujarnya.
Ratusan warga dengan beragam latar belakang, mulai dari pemuda desa, aktivis LSM, para perangkat desa, hingga pengusaha muda turut serta aktif dalam webinar yang digelar untuk warga lereng Gunung Merapi itu. Bersama Sabinus, tampil pula pembicara lain, yakni Drs. M. Arwani M.Ag dari Kementerian Desa yang juga Koordinator Wilayah P3MD, Imam Baihaqi yang merupakan konsultan pemberdayaan desa, Andika Renda dari Kaizen Room konsultan digital safety, Oka Fahreza selaku key opinion leader dan Danys Septyana yang bertindak selaku moderator.
Mengutip M. Arwani, gagasan Desa Digital dimaksudkan untuk membuat daya tarik. Sebab, dengan mengakses Desa Digital, petani generasi tua maupun petani generasi muda juga akan lebih mudah memasarkan produk pertanian dan kerajinan desa ke berbagai kota. Sehingga, dengan begitu, omzet bisa naik dan para pemuda desa akan lebih tertarik berperan serta membangun desa kekinian. ”Ujungnya, desa akan berkembang lebih makmur karena kemelekan digital warganya bisa didayagunakan untuk mendongkrak ekonomi desa,” papar Arwani, antusias.
Kalaupun sementara ini masih ada resistensi dari kelompok kaum pinisepuh karena problem gagap teknologi, menurut Arwani, hal itu menjadi tugas pemuda pendamping desa untuk memberikan pengertian kepada mereka. ”Sampaikan bahwa konsep Desa Digital digagas demi kemajuan dan kemakmuran desa agar lebih baik pada masa datang. InsyaAllah, lama-lama akan muncul dukungan dan sinergi antara kaum pinisepuh dengan kaum muda desa,” ujar Arwani yakin.
Yang jelas, meskipun di desa, salah satu ancaman serius dengan dibangunnya Desa Digital – yang membuat desa lebih berkembang dan makmur dengan beragam e-commerce – yakni akan banyak pemuda dan orang kaya baru di desa. Ini memicu munculnya penjahat digital yang akan menyasar korban di desa. Sebab, menurut data Polisi Siber Indonesia, pada 2019 s.d. 2020 pelaporan kejahatan digital, baik di kota maupun di desa, tercatat 1.617 kasus dengan kerugian mencapai Rp 40 miliar.
”Ini menuntut kewaspadaan kita untuk lebih meningkatkan keamanan digital. Salah satunya dengan menghindari transaksi pembayaran melalui area wifi gratis di berbagai ruang publik. Sebab, di sana kerap menjadi sasaran peretasan,” pesan Andika Renda dari Kaizen Room. Kewaspadaan diperlukan, karena selama ini area publik efektif untuk mengembangkan silaturahmi antar-warga dan meningkatkan interaksi agar bisa saling bertukar peluang bisnis.
Sebagai konsultan pemberdayaan pedesaan, Imam Baihaqi misalnya, malahan mengusulkan perlunya dibangun area wifi gratis di lapangan atau pasar desa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan rasa saling percaya antar-warga karena bisa bertemu langsung, juga bisa saling bertukar peluang bisnis. ”Dengan begitu, tantangan dan peluang untuk bisa berinteraksi lebih efektif kalau ada ruang publik yang difasilitasi wifi gratis dengan menggunakan dana desa,” saran Baihaqi.
Lewat rintisan Desa Digital itu pula, kecerdasan warga desa dapat terus ditingkatkan untuk menciptakan produk-produk berkelas dunia. ”Dulu orang kalau pengin makan gudeg dan bakpia mesti ke Sleman atau langsung ke Jogja. Ke depan, kalau semua desa sudah punya produk unggulan, gudeg, bakpia dan beragam batik dari Sleman bisa dipesan online lewat beragam platform digital yang kini berlimpah pilihannya. Sleman akan menjadi lebih makmur, desanya juga lebih sejahtera,” yakin Oka Fahreza, presenter TV yang tampil sebagai key opinion leader. (IJA)