PEKALONGAN-Hati hati memposting konten negatif di dunia digital. Hal itu akan menjadi jejak digital yang nyaris abadi. Meskipun kita sudah menghapusnya, tetapi kalau ada orang yang pernah men-screenshoot dan menyimpannya, itu akan menjadi dokumen berbahaya. Ia bisa dimunculkan oleh orang lain yang berniat jahat pada kita.
”Tuhan Maha Pengampun, tapi jejak digital yang kita tinggal tidak ada ampun. Ia bisa setiap saat menjadi ’dosa digital’ yang dimanfaatkan orang untuk merusak karier atau hidup kita tanpa kita bisa duga. Ada tweet kita saat marah pada suatu kondisi sudah bertahun-tahun, sudah kita hapus, tapi suatu saat ada orang yang memunculkan tweet itu, padahal kita sudah lupa.” Itulah pembuka diskusi yang disampaikan Ade Irma Sukmawati, dosen Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY).
Irma mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara dalam Webinar Literasi Digital bertema, ”Kedewasaan Berdemokrasi di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo bersama Debindo untuk wilayah Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, 9 Juni lalu. Acara digelar daring dan diikuti peserta dari berbagai profesi di seputar wilayah Pekalongan.
Selain Ade Irma, tampil juga pemateri dalam webinar itu: Mario Antonius Birowo (dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Atmajaya Yogyakarta), Nanik Lestari (dosen UGM dan pegiat Japelidi), Reza Sukma Nugraha (dosen Universitas Sebelas Maret Solo), artis yang bertindak sebagai key opinion leader Michele Wanda, serta Tissa Caroline, presenter TV Nasional yang bertindak sebagai moderator.
Di sesi lain, Nanik Lestari mengatakan, membiasakan diri mencari info pembanding dan hanya meyakini platform yang terpercaya, juga menjadi pesan penting dalam berkirah di dunia digital saat ini. Sebab, terkadang hoaks yang bernada menyenangkan juga dipercaya.
Nanik punya cerita. Pernah ada kejadian, di wilayah Sleman beredar kabar berantai dari satu WA Group ke WA Group yang lain. Dari satu kampung ke kampung yang lain. Isinya, buat para pensiunan pegawai kantor pemerintah akan mendapatkan jatah selama pandemi Covid-19. Wujudnya uang senilai Rp 750 ribu per keluarga dan akan ditransfer ke rekening masing-masing.
”Saking penasaran terhadap berita tersebut, warga pensiunan datang menggeruduk rumah Pak Dukuh, lalu ke Balai Desa, untuk menanyakan hal itu. Peristiwa itu tidak akan terjadi kalau masyarakat biasa me-recheck info pembanding lain sebelum meyakini suatu berita yang beredar di medsos,” ujar Nanik Lestari. ”Kalau shalat berjamaah itu pahalanya berlipat, tapi kalau mempercayai hoaks berjamaah, itu musibah,” timpalnya.
Kehati-hatian saat memposting konten digital, kembali ditegaskan pembicara lain, Antonius Birowo. Kata Anton, dirinya selalu berpesan kepada anaknya. Kalau sedang marah dan emosi, jangan lampiaskan dengan membuat status di internet. Kalau kelak kita melamar kerja, data itu bisa menjadi rekam jejak kita yang dinilai oleh perusahaan saat kita mencari kerja.
”Rekam jejak di masa lalu bisa jadi pertimbangan. Seperti dulu ada orang kampanye fisik dengan motor blombongan keliling kota. Bukan meraih simpati, tapi justru membuat publik antipati. Begitu juga postingan konten bernada adu domba, justru akan membuat citra negatif pada diri kita di dunia digital, dan itu susah dihapus,” pesan Antonius Birowo.
Memang, Reza Sukma menimpali, berjubelnya pemakai internet – yang di Indonesia sudah mencapai 202 juta berbasis gawai dari 270 juta populasi penduduk – membuat banyak netizen merasa mendapat kebebasan, yang dikiranya tanpa batas. ”Padahal, sama saja, hukum dan tata krama di dunia digital risikonya sama dengan dunia nyata. Jadi, biasakan untuk kontrol diri sebelum memposting,” ungkap Reza.
Jadi? Kita memang dituntut untuk memahami, apa yang hendak kita posting mesti ditimbang dulu ada tidaknya manfaat dan untung ruginya buat orang lain. Jangan asal berlomba, dulu-duluan mosting tanpa di-sharing. ”Kalau kita paham hal itu, dunia maya akan penuh dengan konten positif yang bermanfaat. Bukan sebaliknya,” pesan Michele Wanda. (*)