Demak, infojateng.id – Sebuah kisah pilu mengguncang hati banyak orang. Di sudut kecil Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, seorang guru ngaji paruh baya harus menanggung beban berat yang tak sebanding dengan niat mendidiknya.
Namanya Mbah Wahdi. Sehari-hari, beliau mengabdikan diri sebagai guru madrasah, mendidik anak-anak desa dengan penuh kesabaran. Namun, siapa sangka, niatnya memberi sanksi fisik ringan—sekadar tamparan untuk mendisiplinkan murid—berujung petaka.
Alih-alih dipahami sebagai bagian dari pendidikan akhlak, tindakan itu justru membuat orang tua murid naik pitam. Mereka tidak hanya melayangkan tuntutan hukum, tapi juga menggugat ganti rugi sebesar Rp25 juta. Tak sanggup menanggung tekanan, Mbah Wahdi bahkan sampai menjual sepeda motor satu-satunya—alat transportasi sekaligus sumber penghidupan.
Tangisan diam di balik tembok rumahnya yang sederhana akhirnya terdengar hingga ke Yogyakarta. Adalah Gus Miftah, dai muda kharismatik dan pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, yang tergerak hatinya. Sabtu, 19 Juli 2025, beliau datang langsung ke rumah Mbah Wahdi. Bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai pembawa harapan.
Dengan senyum haru, Gus Miftah menyerahkan uang tunai Rp25 juta dan sebuah sepeda motor baru untuk mengganti yang telah dijual. Tapi bukan itu saja. Di tengah perbincangan hangat, Gus Miftah menawarkan sesuatu yang jauh lebih mulia: renovasi rumah atau perjalanan Umrah.
Air mata tak kuasa dibendung ketika Mbah Wahdi dan istrinya memilih Umrah. Bagi pasangan sepuh itu, berangkat ke Tanah Suci adalah mimpi yang tak pernah mereka bayangkan bisa nyata.
“Kami ini orang kecil, Gus. Tapi hari ini Allah tunjukkan kasih sayang-Nya lewat panjenengan,” ucap Mbah Wahdi dengan suara bergetar.
Peristiwa ini bukan hanya tentang bantuan materi. Ini adalah pelajaran tentang empati, keadilan, dan kemuliaan seorang guru yang seharusnya dihormati, bukan dijatuhkan. (tyo/redaksi)
Apakah ada upaya dari pemerintah atau lembaga pendidikan Islam untuk melindungi guru ngaji seperti Mbah Wahdi agar tidak mengalami kriminalisasi atas tindakan mendidik yang bersifat mendisiplinkan?