Kekuasaan sejati, sebagaimana dimodelkan Ibrahim pasca-ujian dan ditegaskan oleh domba pengganti, adalah kekuasaan yang dialogis, yang memberi peran dalam membuka ruang musyawarah, mendengar suara yang dipimpin, dan menghormati kedaulatannya. Bahkan di bawah perintah transenden sekalipun, ruang dialog tak boleh ditutup. Kekuasaan harus bersifat melindungi, menjadikan keselamatan nyawa, martabat, dan hak dasar rakyat sebagai tujuan tertinggi. Kekuasaan adalah amanah perlindungan, bukan lisensi penindasan. Kekuasaan yang mendapat legitimasi dari persetujuan akan memperoleh kekuatannya yang bersumber dari kepercayaan dan kesepakatan bersama (seperti persetujuan Ismail), bukan dari pentungan.
Kekuasaan yang menolak kekerasan akan mampu memahami, seperti pelajaran domba pengganti, bahwa kekerasan bukanlah instrumen sah untuk mempertahankan tahta atau mencapai tujuan, betapapun sucinya klaim itu.
Menyembelih hewan kurban adalah ritual simbolik untuk menyembelih nafsu berkuasa yang angkuh dan haus pengorbanan orang lain dalam diri kita semua, terutama dalam sanubari para pemegang tampuk kepemimpinan. Darah yang mengalir di tanah seharusnya menjadi pupuk bagi tumbuhnya kekuasaan yang melindungi, merangkul, dan menghidupkan. Sebuah kekuasaan yang lahir bukan dari ketakutan, tetapi dari kepercayaan dan kesepakatan, sebagaimana tergambar dalam dialog abadi antara Ibrahim dan Ismail di bawah bayang-bayang pisau ujian.
Tajamkan pisau kurban itu. Arahkan bukan ke leher rakyat, tapi ke leher keangkuhan, keserakahan, dan nafsu tirani yang bersemayam dalam diri penguasa. Hanya dengan menyembelih keangkuhan itulah kekuasaan dapat menemukan jati dirinya yang sejati: sebagai pelindung, bukan algojo; sebagai penjaga kehidupan, bukan peminta tumbal. Itulah konstitusi ilahi dari Padang Mina yang abadi. (*)